Rabu, November 25, 2009

PETRUK DADI RATU

Teladan Kepemimpinan dalam Cerita Wayang

Waktu Petruk menjadi raja, banyak orang menertawakannya. Menurut banyak orang, Petruk dadi Ratu itu hanyalah lakon impian, lakon lamunan rakyat bawahan yang tak dapat memperbaiki keadaan. Mana mungkin rakyat miskin dan bodoh menjadi raja kaya dan bijaksana? Ada pula yang bilang, lakon itu adalah pasemon (sindiran) tentang kere munggah mbale (gelandangan yang menjadi kaya dan lupa daratan). Lainnya lagi mengejek, lakon itu hanyalah dagelan untuk menghibur orang miskin. Dan sebagian lagi berpendapat, Petruk dadi ratu itu kisah aji mumpung (kebetulan), di mana orang miskin menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Di zaman Belanda dulu, Petruk dadi Ratu juga hanya dipandang sebagai guyonan. Petruk disebut sebagai Opperbevelhebber, jendral berkuasa, yang memerintah semua belantara. Sebagai penguasa, Petruk menjungkirbalikkan pranatan. Di negaranya, Lojitengara, menghisab candu dihalalkan, main judi dinaikkan derajatnya menjadi sport utama, yang dipopulerkan bagi semua warga negara.
Dari dulu sampai sekarang, entah orang Jawa ataupun Belanda, mereka semua ternyata tidak mengerti wayang. Mereka memikirkan wayang secara wadag (fisik). "Pantas, jika mereka menganggap saya, hamba sahaya yang kecil dan miskin ini, menggunakan kesempatan, berpestaria menjadi raja. Petruk dadi Ratu itu bukan lakonnya orang bodoh jadi raja, atau lakonnya orang kecil beraji mumpung, tapi lakon mencoke wahyu marang kawula (hinggapnya wahyu pada diri rakyat)", kata Petruk.
Petruk mengenang, bagaimana ia sampai menjadi raja. Alkisah, tuannya, Abimanyu menderita sakit. Abimanyu adalah perantara, yang nantinya akan mewariskan dampar (tahta) Palasara, pendiri Astina, kepada Parikesit, anaknya. Bersamaan dengan sakitnya, pergilah ketiga wahyu yang dimilikinya, yakni wahyu Maningrat, yang menyebarkan benih keratuan, wahyu Cakraningrat, yang menjaga keberadaannya sebagai ratu, dan wahyu Widayat, yang melestarikan hidupnya sebagai ratu.
Ketiga wahyu itu kemudian hinggap pada diri Petruk. Ia pun akhirnya dapat menjadi raja di negara yang dinamainya Lojitengara. Ia menggelari dirinya Prabu Wel-Geduwel Beh!. Untuk kukuh menjadi raja, ternyata ia membutuhkan damper kerajaan Astina, warisan Palasara. Petruk memerintahkan kepada kedua patihnya, Bayutinaya—titisan Anoman—dan Wisandhanu—titisan Wisanggeni, anak Arjuna--, untuk mencuri tahta Palasara itu.
Kedua utusan itu berhasil membawa pulang tahta tersebut. Prabu Wel-geduwel Beh mencoba duduk di atasnya. Begitu duduk, ia pun terjungkal. Ia coba lagi berulangkali. Sang Prabu akhirnya menyerah dan memperoleh bisikan melalui penasihat kerajaan bahwa supaya tidak terjungkal, ia harus memperoleh boneka yang bisa dililing (dilihat dan ditimang). Petruk kembali menyuruh kedua utusannya, Bayutinaya dan Wisandhanu untuk mencari boneka yang dimaksud. Tanpa memperoleh rintangan yang berarti, kedua utusannya berhasil membawa boneka itu yang tak lain adalah Abimanyu yang sedang sakit.
Ketika dipangku Prabu Wel-Geduwel Beh, Abimanyu sembuh. Dan Abimanyu berkata, "Kamu takkan bisa menduduki tahta itu, jika kamu tidak memangku aku".
"Pada saat itulah saya mengalami, bahwa saya ini hanyalah kawula. Dan saya sadar, saya akan tetap tinggal sebagai kawula, tak mungkinlah saya bisa duduk sebagai raja. Tugas saya hanyalah memangku raja, agar ia dapat menduduki tahtanya. Tuanku Abimanyu dapat duduk di tahta raja karena saya memangkunya. Jadi raja itu takkan bisa menjadi raja, kalau tidak dipangku kawula, rakyat jelata seperti saya ini", kata Petruk sambil memandang tanah datar di hadapannya.
Dulu Petruk tidak tahu, mengapa ketiga wahyu itu pergi meninggalkan tuannya dan hinggap padanya. Sekarang ia paham, wahyu sebenarnya hanya pergi untuk sementara. Ia pergi hanya untuk nitik, menengok siapakah yang memangku orang yang kedunungan (dihinggapi) wahyu. Wahyu itu tidak asal hinggap. Dia akan hinggap pada orang yang layak dihinggapi, dan orang yang layak itu haruslah orang yang dipangku Petruk, sang rakyat dan sang kawula ini. Maka setelah tahu, bahwa Petruklah yang memangku Abimanyu, wahyu itupun berhenti menitik dan ketiganya kembali kapada Abimanyu.
Di hadapan tanah datar itu, pikiran Petruk melayang lagi. Ia sedih mengingat gugurnya Abimanyu dalam Perang Bharata Yudha. Petruklah yang menggendong jenazah Abimanyu. Petruk pula yang membakar mayat Abimanyu menuju alam Mokshaya. "Saya ini hanyalah rakyat. Betapa pun hinanya diri saya, hanya saya yang bisa mengantarkan Sang Raja menuju alam kesempurnaannya. Sampai ke Moksha pun, raja itu bergantung pada kawula. Hanya rakyatlah yang dapat menyempurnakan hidup raja, bahkan ketiak ia berhadapan dengan akhiratnya", ujar Petruk.
"Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates ( rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)", kata Petruk.
Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. "Maka seharusnya penguasa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula (menjarah hidup rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa itu harus mau berkorban). Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan di-petung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi , kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu," kata Petruk.
Tapi Ki Petruk, mengapa banyak penguasa yang tak memperhatikan kawula,menginjak-injak dan menghina kawula, toh tetap dapat duduk di tahtanya?
"Dalam pewayangan pun ada penguasa yang tak dipangku rakyat seperti saya. Dia adalah Dasamuka yang lalim. Dia adalah Duryudana yang serakah. Seperti halnya hanya ada satu tahta Palasara, demikian pula hanya ada satu tahta rakyat. Duryudana berkuasa, tapi tak pernah berhasil menduduki tahta Palasara. Banyak penguasa berkuasa, tapi mereka sebenarnya tidak bertahta di dampar yang sebenarnya, yakni dampar rakyat ini", jawab Petruk.
Tiba-tiba Petruk mendengar, tanah datar di hadapannya itu bersenandung. Makin lama semakin keras bahkan menjadi senandung Panitisastra: dulu tanah itu adalah hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dibunuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia….
"Raja dan rakyat harus wengku-winengku (saling memangku), rangkul-merangkul, seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk", kata Ki petruk menyenandung tembang Panitisastra.
( Luqman, M.Pd)


16 komentar:

lusiedulink mengatakan...

aku setuju filosofinya Yes, petruk jadi ratu

ummy nafie mengatakan...

thx mom... emg sbagian besar org menafikkan hal itu.

Bangasbersorak mengatakan...

ni pasti gak orang sembvarangan..mungkin jadi dalang juga pak yak...senang pak...nice blog poko'e...

hendrie k_bejo mengatakan...

wah jd Ingat nama Samaran gw tuh kala itu tmn2koe Memanggilku Petruxs

atics mengatakan...

petruk jadi raja.. semar gmn L:D

Putra linggau mengatakan...

info muanteb pak..
penuh filosofi

Unknown mengatakan...

salam sahabat
wah ada aja ya kalo sampai gitu bisa berabe ga ya?oh iya adhek Yun kertosono ya?insyaAllah saya tahu letaknya coz budhe di kertosono,ntar saya tanya aja thnxs ya,ada waktu main kerumahku ya,good luck

ummy nafie mengatakan...

@ bangas>> kl adminx bukan...tp penulisx emg dalang..cynk d MAN Nglawak g' ad ekskul dalang. wekekek..
@ hendrie>> sama dunk..qjg dpanggil Doraemon. weleh...kaga' nyambung z kak. hehe
@ atics>> semar mesem sambil mendem
@ putra>> makasih uda.
@ mbak diana>> kere munggah mbale asal inget "pijakan"nya kan gak mama .
wokehlah mbak...ad' tgu jitakan lgsugx..hehe..jd g sabar.
jgn lupa oleh2 dr hongkongx z...^_^

Afta Ramadhan Zayn mengatakan...

Mantab...

Arina Haq al--Qodir mengatakan...

Sipp...

ummy nafie mengatakan...

@ Afta>> suwun dek, ws gabung. kritik saran z...mb jek blajar.
@ Arina>> waah..dek. welcome (bc: wel-co-me). tau almt nee dr mn? gabung dunk..^_^

Puspita mengatakan...

Salam kenal dari tetangga sekolah.

Adin Albanna mengatakan...

petruk jadi ratu sekarang banyak terjadi namun yang memiliki jiwa seperti petruk jarang sekali,baik di ajang manapun politik ataupun politisi bahkan seorang pengajar pun semua hampir memakai sifat dasamuka dalam melaksanakan jabatannya.mari kita kmbali ke jiwa petruk yang sadar akan jati diri sebenarnya

Unknown mengatakan...

ceritanya masuk tugasku

OEN-OEN mengatakan...

emang penuh filosofis cerita wayang, siipp nambah pengetahuanku boz :D

Anonim mengatakan...

sopo sing dadi petruk pak jokowi kah?

Posting Komentar

TAFADZOL-TAFADZOL!!!