Minggu, Desember 13, 2009

MEMBUKA KEDOK JIL (part 1)


Pada pertengahan tahun 2001, umat Islam di Indonesia dikejutkan oleh munculnya sebuah paham yang sangat aneh dan nyleneh. Paham tersebut sangat meresahkan kaum muslimin pada umumnya, dan para ulama khususnya. Hal ini dikarenakan paham tersebut mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan sejajar. Di samping itu ia juga mengacak-acak ajaran Islam yang sudah baku (qath'i), sangat memusuhi dakwah pemurnian tauhid yang sering mereka juluki dengan Wahabisme. Paham ini kemudian dikenal dengan sebutan Jaringan Islam Liberal (JIL).

Menelusuri Akar Sejarah Islam Liberal

Bila kita telusuri asal muasal benih-benih Islam Liberal, akan kita dapati bahwa ia sudah muncul sejak abad ke-2 Hijriyah, yaitu ketika seorang Washil bin Atha', peletak dasar paham Mu'tazilah, memisahkan diri dari jamaah Ahlus Sunnah. Ciri khas dari paham Mu'tazilah ini ialah kecenderungan rasionalismenya yang sangat tinggi. Mereka memosisikan ra'yu (akal) mereka di atas wahyu (teks-teks al-Qur'an dan as-Sunnah). Mereka berpendapat bahwa penunjukkan (dilalah) teks-teks al-Qur'an dan as-Sunnah bersifat dzanni (dugaan), sedangkan penunjukkan akal bersifat qath'i (pasti). Oleh karena itu, jika ada ayat al-Qur'an yang menurut mereka bertentangan dengan akal, maka ayat tersebut harus ditakwilkan (diinterpretasikan) agar sejalan dengan akal. Demikian juga dengan as-Sunnah. Jika ada teks hadits yang menurut mereka bertentangan dengan akal, maka teks tersebut harus ditolak.
Munculnya paham Mu'tazilah tidak lepas dari pengaruh filsafat Yunani yang memang sangat mendewakan akal (rasio). Akan tetapi penyimpangan Mu'tazilah ketika itu tidak separah JIL saat ini. Mu'tazilah tidak pernah mempunyai pemikiran pluralisme (semua agama itu sama dan sejajar). Kaum Mu'tazilah juga tidak pernah menganut paham sekulerisme (memisahkan urusan dunia dari agama). Mu'tazilah masih meyakini bahwa menetapkan syariat Islam adalah suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Akan tetapi, dari sisi aqidah, mereka memiliki banyak perbedaan dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dalam perjalanan sejarahnya, komunitas kaum Mu'tazilah sudah lama lenyap dari muka bumi, akan tetapi beberapa prinsip mereka masih dianut oleh sebagian pemikir Islam yang liberal.
Pemikiran Islam Liberal pada masa modern dipelopori oleh:

  1. Rif'at Thahthawi lahir tahun 1801, intelektual Mesir yang menimba ilmunya di Paris selama lima tahun (1826-1831). Sepulangnya dari Prancis, ia menyeru kaum Muslimin di Mesir untuk menciptakan tatanan masyarakat dengan berdasarkan pada prinsip sekularisme dan rasionalisme. Tokoh ini sangat dikagumi oleh JIL dan dianggap sebagai seorang mujaddid (pembaharu) Islam. Bahkan JIL menjulukinya sebagai Bapak Pembaharuan Pemikiran Mesir.
  2. Qasim Amien (1865-1908), tokoh gerakan feminisme di Mesir. Ia menyerukan pembebasan kaum wanita dari ikatan-ikatan syari'at yang dianggapnya telah mengungkung kaum wanita dari kebebasannya. Ikatan-ikatan syari'at seperti keharusan berjilbab, tidak boleh bercampur-baur dengan kaum laki-laki, lebih mengutamakan rumah dan sebagainya, menurut Qasim Amien tak lebih dari kungkungan tradisi klasik yang telah memasung hak-hak kaum wanita selama berabad-abad. Dalam bukunya, Tahriirul Mar'ah (pembebasan perempuan), ia menyerukan kaum perempuan Mesir untuk menanggalkan jilbabnya dan ikut andil bersama kaum lelaki dengan bekerja di instansi pemerintah dan swasta. Tokoh ini juga sangat dikagumi oleh JIL.
  3. Thaha Husain (1889-1973), penyeru sekulerisme Mesir dan murid seorang orientalis, Emile Durkheim. Ia sangat mengagumi kebudayaan Barat dan menyerukan agar Mesir menjiplak semua yang berasal dari Barat.
  4. Mustafa Kemal Attaturk, Bapak Sekulerisme. Ketika memerintah Turki pada tahun 1924, ia membuang system kekhalifahan Islam dan menggantikannya dengan system Republik Sekuleris. Ia melarang kaum perempuan untuk keluar dengan menggunakan jilbab. Di depan Parlemen Turki, ia pernah membawa selembar jilbab hitam lalu ia jatuhkan dan diinjak-injak. Setelah itu, ia berkata, " Sekarang Turki telah meninggalkan masa kegelapan dan menuju cahaya." Ia juga melarang penulisan kitab suci al-Qur'an dengan huruf Arab, juga melarang adzan dengan bahasa Arab. Menjelang akhir hayatnya, ia sempat berwasiat agar jenazahnya tidak disholatkan.
  5. Ali Abdul Raziq (1885-1966). Pada tahun 1925 ia menulis buku yang berjudul "al-Islam wa Ushulul Hukm" (Islam dan pokok-pokok pemerintahan). Ia menyatakan di dalam bukunya itu bahwa Islam hanya mengatur tata cara ibadah saja, tidak mengatur masalah politik, ekonomi, dam sosial. Secara terang-terangan ia menyeru kepada paham sekuler, padahal ia adalah seorang ulama alumnus al-Azhar, Mesir. Ia mengatakan bahwa jihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW itu tidak lain hanyalah untuk meraih kerajaan. Demikian juga pemungutan zakat, jizyah (pajak bagi non-muslim) dan ghanimah (rampasan perang), semua itu dilakukan Rasulullah SAW hanya sekedar untuk meraih kerajaan, tidak ada hubungannya sama sekali dengan tugas kerasulan beliau. Ia juga menegaskan di dalam bukunya, bahwa tatanan hokum di zaman Nabi SAW tidak jelas, tidak sempurna, dan menimbulkan berbagai tanda tanya. Ia tidak mengakui jika peradilan itu adalah suatu tugas syari'at. Ia juga menganggap bahwa pemerintahan Khulafa'ur Rasyidin itu tidak agamis. Tidak heran jika Hai'ah Ulama' (lembaga ulama) al-Azhar menjatuhkan vonis akan dirinya dengan menghapus namanya dari daftar Universitas al-Azhar dan mengeluarkan dirinya dari barisan ulama. Vonis itu dijatuhkan pada tanggal 12 Agustus 1925. Tetapi anehnya, JIL sangat mengagumi tokoh ini dan menjulukinya sebagai Peletak Dasar Teologi Negara Modern.
  6. Fazlur Rahman, lahir tahun 1919, seorang pemikir Islam Liberal Pakistan. Karena beberapa pendapatnya yang nyleneh, ia dikucilkan oleh para ulama Pakistan. Akhirnya ia meninggalkan Pakistan dan memilih untuk tinggal di Amerika serta mengajar di Universitas Chicago. Dia adalah guru Nurcholish Madjid.
  7. Nashr Hamid Abu Zaid, seorang intelektual yang telah dinyatakan kafir oleh Mahkamah Agung Mesir pada tahun 1966. Dia dibela dan ditokohkan oleh JIL. JIL menulis dalam situsnya, " Apa alasan kelompok fundamentalis dan pengadilan Mesir mengafirkan Abu Zaid? Apakah 'dosa' Abu Zaid? Dan mengapa pentakfiran seperti itu bisa terjadi?" Padahal telah jelas bahwa Nashr Hamid Abu Zaid adalah seorang pemikir yang pendapatnya sangat menyimpang dari Islam. Ia mengatakan di dalam bukunya yang berjudul "Mafhumun Nash" bahwa al-Qur'an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi). Karena pendapatnya itu, ia divonis murtad di Mesir dan istrinya pun difasakh (diceraikan) oleh pengadilan. Kemudian ia hengkang ke Belanda dan di sana ia diterima sebagai guru besar di Universitas Leiden, Belanda. Pada September 2004, ia diundang untuk berceramah di berbagai tempat di Indonesia. Kehadiran Nashr Hamid Abu Zaid di Jakarta itu dielu-elukan oleh JIL. Kedatangan Abu Zaid ke Indonesia itu atas undangan sebuah LSM yang didanai oleh The Asia Foundation yang berpusat di Amerika.

Alhasil, semua tokoh pemikir yang menyimpang pasti dikagumi dan dijadikan pahlawan oleh JIL. Sehingga JIL tak ubahnya keranjang sampah yang menampung semua pemikiran yang menyimpang dan ganjil. Tidak mengherankan jika JIL dimusuhi dan dikutuk oleh mayoritas umat Islam. Tidak ketinggalan MUI pun mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam untuk mengikuti paham yang disebarkan JIL.

5 komentar:

Hidup Untuk Berbagi mengatakan...

akhirnya terbuka juga

asep canda mengatakan...

kedok ??? hehheheeheh

denadnan mengatakan...

inna dinaa indallahiil islam.... ALLOHUAKBAR, MARI KITA SELAMATKAN AQIDAH ANAK CUCU KITA DARI aqidah PLURALISME.

akhatam mengatakan...

Terbuka Deh KedoKnya...hehehe

ummy nafie mengatakan...

@hidup
iz..kuncix dh ktemu. :)

@kang asep
lgkapx pangeran kedok kang :D

@den
musti itu den. jgn spe aqidah anak cucu qt terkontaminasi limbah pluralisme.

@akhatam
lama g' nungul sob. zoi..stelah skian lm kuncix diumpetin. :D

Posting Komentar

TAFADZOL-TAFADZOL!!!