Minggu, November 01, 2009

Serat Bharata Yudha

Malam tadi adalah malam-malam yang mimpi itu datang padaku. Menggangguku dengan beragam tanda tanya dan ketidakmengertian. Bahkan telah mampu memasungku dalam kamar pengap ini.
Mimpi itu sebenarnya tidak luar biasa, aku hanya melihat segerombolan orang dengan seorang pemimpin gagah di tengah-tengahnya. Tiba-tiba dengan sebuah panah, aku berhasil membunuh pemimpin rombongan dan memporak-porandakan seluruh anggotanya. Aku tertawa dan bersorak keras sekali, merasa bangga dengan kemenangan itu. Tapi tiba-tiba beberapa orang justru menertawaiku, menyorakiku dan mengolok-olok aku karena katanya aku seorang penghianat yang melanggar darma-darma dan norma seorang kesatria.
Mimpi-mimpi yang selalu berulang itu rupanya telah mengalirkan darah kepedihan yang berbaur dalam kegelisahan, bimbang, ragu-ragu, cemas, dan ketakutan-ketakutan. Mimpi-mimpi itu seolah-olah membentangkan benang merah dengan kehadiran tiba-tiba seseoarang dengan membawa cerita yang katanya akan segera terjadi di hidupku.
Aku adalah Srikandi, begitu katanya. Dan di pundakkulah kemenangan Pandhawa dibebankan. Aku tak tahu mengapa dia berpikir begitu, padahal kalau dia tahu aku yang sesungguhnya, tentu dia akan berubah arah. Dia akan berkata bahwa menjadi Srikandi bukan hal yang mudah yang dapat diperankan oleh siapa saja. Aku hanya perempuan biasa, seorang ibu dengan dua anak yang masih begitu menyita pehatian. Aku hanyalah seorang istri yang kadang-kadang begitu puas jika suami tersenyum gembira kepadaku. Dan yang jelas, aku seorang guru wali yang tak punya senjata apa-apa kecuali niat dan keinginan yang tulus untuk menaruh harapan besar kepada murid-muridku, masyarakatku.
"Tapi kau adalah Srikandi, betul-betul seorang Srikandi yang tak diciptakan kecuali membawa bendera kemenangan dan merubah keadaan. Suratan takdir telah mengabarkan bahwa Bisma, cuma kau yang mampu membunuhnya" katanya waktu itu.
"Aku bukan Srikandi…!! Bukan…!! Kau telah salah melihatku….!!"teriakku penuh keputusaan.
"Faktanya kau adalah Sriakndi yang akan mengubur Kurawa di Padang Kurusetra. Aku yakin itu. Yakin sekali. Kau adalah Dewi Amba yang menjadi kelemahan Bisma. Hanya kau yang dapat membela Pandawa dan terutama Arjuna untuk menggenggam kemenangan ini. Nasib Pandawa betul-betul kau yang menentukan".
"Tapi setidaknya kau perlu tahu, bahwa Srikandi tidak menggunting dalam lipatan. Srikandi bukan pula seorang yang dengan cueknya menikam dari belakang. Dan yang jelas Srikandi tidak akan berkhianat dengan cara menjadi pecundang yang memanfaatkan kelemahan lawan".kataku berusaha menolak peranan yang dia tawarkan.
" Yakinlah! Kau adalh pahlawan sejati", katanya menutup pertemuan itu.
Senja telah beranjak malam. Keheningan kian terasa seiring dingin yang semakin menggigit tulang belulang. Malam pun bertambah larut sampai tiba-tiba kudengar seseorang memanggilku dekat, terasa dekat sekali di belakangku. Ketika kutolehkan wajahku, lelaki itu, Krisna, tersenyum padaku.
"Ikutlah denganku Srikandi. Saatnya sudah tiba, kau harus segera merampungkan Bharata Yudha ini sebelum seluruh rakyat habis menjadi korbannya. Terimalah panah Arjuna ini, sebab dengan senjata inilah Bhisma akan menjemput mautnya."
"Aku masih tak bisa percaya, bahwa aku adalah Srikandi…"
" Mengapa?.. mengapa kau berkata begitu? Kau tak perlu ragu-ragu Srikandi..ketiga dunia telah memilihmu mengatupkan lingkaran persaudaraan dan memusnahkan keangkaramurkaan".
" Karena aku perempuan… yach…ya…karena aku betul-betul seorang perempuan. Seperti kata mereka, perempuan punya kodrat yang dalam konstruksi social mengharuskannya berada di dalam, tidak muncul di permukaan".
" Itu alas an klasik Srikandi. Kodrat keperempuananmu tidak akan hilang hanya sebab kau tolak kemapanan. Ayolah Srikandi…nasib kebijakan berada dalam genggaman dan ketulusanmu berbakti pada bumi pertiwi".
Tanpa berkata-kata lagi Krisna pun membawaku terbang menuju Kurusetra.
Dari kejauhan aku mulai merasakan hawa peperangan yang bercampur anyir darah. Dan aku mulai menangkap gambar-gambar yang menunjukkan berpuluh-puluh rakyat tergeletak tanpa nyawa di padang gersang itu. Aku pun mulai membulatkan tekad, apapun yang terjadi, perang ini harus segera usai. Dan kuncinya hanya satu, aku harus membunuh Bhisma.
Dengan gagah berani dan semangat menggelora aku segera masuk ke kancah pertempuran. Tapi tiba-tiba tubuhku gemetaran….gemetarrr…..hebat, semakin hebat. Yang kulihat di situ bukanlah Bhisma, tapi kepala sekolah tempatku mengajar. Aku heran mengapa skenarionya berubah, mengapa aku harus membunuh orang yang sangat kukagumi itu. Aku tertegun, kulihat sekelilingku…ternyata mayat-mayat itu adalah mayat murid-muridku, dan beberapa teman guru. Tidak…tidak…ini pasti telah terjadi kesalahan.
" Krisna…!! Di mana kamu..?? Tidak…!! Tidak…!! Aku betul-betul tak mau memerankan tokohmu…tolong keluarkan aku dari panggung ini…tolong..!! Tolong..!!
" Bu…bu…bangun, Bu! Ada apa bu… kau mimpi apa..?"
Tiba-tiba seseorang yang ternyata suamiku telahg membangunkanku dari gelisah dalam lelapku.
Tapi jujur saja, aku menjadi sedikit lega, karena apa yang barusan kualami Cuma mimpi dan mudah-mudahan betul-betul cuma mimpi.@

0 komentar:

Posting Komentar

TAFADZOL-TAFADZOL!!!